Bisnis

Selasa, 14 September 2021

Realisasi Pajak Digital Mencapai Rp 3,5 Triliun



Pemerintah mencatat realisasi pajak digital mencapai Rp 3,5 triliun pada awal September 2021.


Realisasi tersebut diperoleh dari 83 perusahaan yang berstatus pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, setoran pajak didapat dengan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk digital luar negeri yang diusahakan oleh para perusahaan tersebut. Perusahaan ini berskala internasional yang memiliki bisnis di dalam negeri.


“Penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp 3,5 triliun ini yang tadinya tidak bisa kita collect,” jelas Menkeu ketika rapat bersama Komisi XI DPR secara virtual, Senin (13/9/2021).


Menkeu menuturkan, beberapa perusahaan yang berstatus PMSE dan menyetorkan pajaknya ke negara adalah Netflix, Zoom, Shopee, Alibaba Cloud (Singapore) Pte Ltd, GitHub, Inc, Microsoft Corporation, Microsoft Regional Sales Pte Ltd, dan UCWeb Singapore Pte Ltd. Setoran pajak tersebut dimulai pertama kali pada 1 Juli 2020.


Pajak digital ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Jumlah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.


Sebelumnya, saat peringatan Hari Pajak di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, beberapa waktu lalu, Menkeu mengatakan bahwa di era ekonomi digital saat ini, untuk dapat memperoleh penghasilan dari suatu negara, para pelaku usaha tidak perlu berada di negara tersebut untuk melakukan kegiatan usahanya. Ini berarti konsep physical economic presence sudah sulit untuk diterapkan saat ini.


Pendefinisian ulang Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment menjadi hal utama untuk dikaji secara mendalam dan cermat. “Salah satu konsep yang berkembang saat ini adalah mendefinisikan keberadaan BUT berdasarkan significant economic presence,” ungkap Sri Mulyani, seperti dilansir laman resmi Ditjen Pajak.


Sri Mulyani mengatakan, tantangan perpajakan di era ekonomi digital—sebagaimana menjadi topik penting yang didiskusikan dalam forum sidang tahunan G20 di Jepang—juga harus diantisipasi dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Perpajakan. “Realisasi penerimaan perpajakan saat ini masih belum mencerminkan besarnya potensi pengguna internet, e-commerce, dan jumlah penduduk Indonesia,” kata Sri Mulyani.


Oleh karena itu, menurut Menkeu, pemerintah dituntut membuat regulasi yang di satu sisi harus mampu mendorong perekonomian melalui berbagai skema insentif, namun di sisi lain harus tetap menjaga penerimaan perpajakan. “Saat ini beberapa rancangan undang-undang perpajakan sedang dalam proses pembahasan dengan DPR dan sebagian sedang dalam penyusunan,” ujarnya.


Menurut Sri Mulyani, dampak dari dunia digital adalah jenis pekerjaan semakin kompleks, kuantitas pekerjaan semakin sulit ditangani secara manual, waktu tanggap semakin butuh lebih cepat, serta transaksi dan kegiatan ekonomi Wajib Pajak semakin beragam dan kompleks.


“Tidak lagi bisa diatasi hanya dengan penambahan jumlah SDM, melainkan harus dengan terobosan inovasi pemanfaatan teknologi informasi. Tantangan teknologi informasi dan basis data, sebagai pilar ketiga menjadi sangat krusial di era digital disruption. Saat ini, the world’s most valuable resource is no longer oil, but data,” ungkap Sri Mulyani.


Dengan sudah ditetapkannya undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, AEoI, dan berbagai data yang diterima Direktorat Jenderal Pajak dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain (ILAP) serta sumber- sumber data lainnya, maka tantangan saat ini yang harus diselesaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah bagaimana mengelola dan memanfaatkannya dengan baik, dan mewujudkannya dalam bentuk penerimaan.


“Penting bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk menyediakan layanan perpajakan yang berorientasi pada kebutuhan Wajib Pajak. Dukungan teknologi informasi menjadi solusi yang menawarkan kemudahan dan kepraktisan, serta menjamin keamanan dalam penyediaan layanan kepada Wajib Pajak,” tutur Sri Mulyani.


Menyinggung pembentukan dua Direktorat baru Direktorat Jenderal Pajak yaitu Direktorat Data dan Informasi Perpajakan serta Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi, menurut Sri Mulyani, menjadi penanda upaya pengembangan lebih lanjut Direktorat Jenderal Pajak dalam merespons perubahan dan menghadapi tantangan dunia usaha yang semakin kompleks.


“Konsep struktur kantor one model fits all sudah semakin tidak cocok untuk diterapkan. Kantor Pelayanan Pajak ke depannya agar diklasifikasikan berdasarkan variabel keragaman jenis, jumlah, dan segmentasi Wajib Pajak, serta cakupan wilayah administrasi. Sementara itu perluasan layanan perpajakan dengan basis online, meminimalisasi tatap muka langsung dengan wajib pajak, tentunya juga berpengaruh terhadap struktur kantor pajak di masa mendatang,” jelas Sri Mulyani.


Dalam konteks yang lebih luas sesuai inisiatif program Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan, arah kebijakan pengembangan organisasi Kementerian Keuangan adalah terwujudnya optimalisasi administrasi perkantoran berbasis digital.


“Office Automation diharapkan mampu membangun pola kerja yang lebih kolaboratif, tindak lanjut disposisi yang lebih responsif, mendorong kinerja yang lebih produktif, serta meningkatkan efisiensi dari sisi biaya, mutu, dan waktu. Saya harapkan pengembangan organisasi dapat selalu adaptive dan agile dalam menghadapi perkembangan zaman,” kata Sri Mulyani.

Tidak ada komentar:
Write komentar