Direktur Pengamanan Perdagangan Natan Kambuno mengajak pelaku mengubah tantangan persyaratan sertifikasi yang ditetapkan oleh sejumlah negara tujuan ekspor menjadi peluang untuk meningatkan ekspor Indonesia.
Strateginya melalui pemetaan dan memanfaatkan hasil-hasil kerja sama perdagangan internasional. Hal ini disampaikan Natan dalam seminar web (webinar) Sharing Session kedua dengan tema ‘Persyaratan Sertifikasi sebagai Bentuk Hambatan Teknis Perdagangan di Negara Tujuan Ekspor’ pada Kamis, (23/9/2021) di Makassar, Sulawesi Selatan.
“Persyaratan sertifikasi kerap kali menjadi hambatan dalam perdagangan karena standar yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor lebih ketat dari standar internasional. Akibatnya, persyaratan sertifikasi muncul sebagai bentuk hambatan teknis perdagangan, terutama jika menjadi syarat wajib keberterimaan produk Indonesia di negara tujuan ekspor.
Namun, hal ini bisa disikapi para pelaku usaha Indonesia dengan melakukan pemetaan dan memanfaatkan berbagai kerja sama perdagangan internasional,” jelas Natan. Menurut Natan, untuk mengubah tantangan peningkatan persyaratan sertifikasi, pemetaan yang perlu dilakukan yaitu pemetaan terhadap perubahan standar perdagangan agar produk Indonesia dapat menembus pasar ekspor.
Selain itu, lanjut Natan, Pemerintah juga melakukan berbagai kerja sama perdagangan internasional dengan negara-negara mitra dagang yang mencakup persetujuan bilateral, multilateral, dan regional untuk dapat membuka akses pasar yang lebih luas di berbagai jenis komoditas. Misalnya, produk pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, dan peternakan. Melalui kerja sama perdagangan internasional tersebut, Pemerintah bisa mendapatkan kesepakatan Mutual Recognition Arrangement (MRA) antarpihak atau negara yang tergabung dalam pakta kerja sama, sehingga diharapkan standar Indonesia dapat diakui dan tidak perlu adanya uji kelayakan tambahan.
“Indonesia harus tetap optimistis menghadapi tata kehidupan baru yang mensyaratkan banyak sertifikasi dalam proses perdagangan terutama pascapandemi. Untuk itu, Indonesia perlu mengembangkan standar, laboratorium uji, dan lembaga sertifikasi produk sehingga produk kita dapat selalu memenuhi standar pasar internasional,” ungkap Natan.
Natan menyatakan, pada kesempatan sharing session kali ini, Kemendag juga melibatkan Dinas Perdagangan Sulawesi Selatan karena Sulawesi Selatan memiliki posisi yang strategis sebagai salah satu kota pelabuhan utama di kawasan Timur Indonesia dalam memasarkan komoditas ekspor Indonesia ke mancanegara.
“Peningkatan persyaratan sertifikasi sebaiknya tidak menjadi hambatan bagi ekspor Indonesia. Sangat penting bagi eksportir dan pelaku usaha Indonesia termasuk Sulawesi Selatan untuk selalu memantau perkembangan, menjaga hasil mutu, dan bekerja sama dengan Pemerintah. Penting bagi pelaku ekspor, tidak saja di Provinsi Sulawesi Selatan namun juga di seluruh Indonesia, untuk mulai memberikan perhatian lebih kepada peningkatan penerapan sertifikasi guna menjamin kelancaran ekspor ke negara mitra dagang,” ujar Natan.
Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan Ashari Fakhsirie Radjamilo menyampaikan, di tengah pandemi Covid-19, meski menghadapi banyak tantangan, pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan mengalami capaian yang cukup signifikan. Pada periode Januari–Juli 2021, kinerja ekspor Provinsi Sulawesi Selatan tercatat mengalami kenaikan mencapai USD 941 juta. Nilai ini naik 18,58 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar USD 794 juta.
Hadir sebagai narasumber Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Liana Bratasida; Vice President Strategic Business Unit, SUCOFINDO, Nurbeta Kurniawan; Atase Perdagangan RI di London, M. Rizalu Akbar; dan Direktur Sistem Penerapan Standard dan Kesesuaian, Badan Standardisasi Nasional, Konny Sagala.
Menurut Direktur Sistem Penerapan Standard dan Kesesuaian, Konny Sagala, untuk menjadikan peluang ekspor dari peningkatan persyaratan sertifikasi, Indonesia juga perlu meningkatkan kompetensi infrastruktur yang mendukung kegiatan penilaian kesesuaian serta keterlibatan dari seluruh pemangku kepentingan dalam kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian (SPK).
“Indonesia juga harus melakukan penguatan data dukung berbasis kajian ilmiah, melakukan harmonisasi dengan standar internasional, serta mendorong pengakuan dan keberterimaan sertifikasi perdagangan global melalui framework MRA,” ujar Konny.
Atase Perdagangan RI di London, M. Rizalu Akbar menuturkan, saat ini Pemerintah Inggris sedang memproses pembuatan undang-undang baru tentang kebijakan due diligence terhadap produk yang dihasilkan dari lahan konversi lahan hutan. “Pemerintah Inggris ingin menjadikan rantai pasok Internasional yang masuk ke Inggris merupakan rantai pasok yang ramah lingkungan. Hal ini karena munculnya kesadaran dari masyarakat Inggris terhadap dampak deforestasi terkait rantai pasok di Inggris. Konsumen Inggris sudah mulai sadar pentingnya untuk mengetahui asal produk yang dikonsumsi serta legalitas dan keberlanjutan sumber produk tersebut,” kata Rizalu.
Untuk itu, lanjut Rizalu, Pemerintah Inggris memutuskan untuk membuat peraturan bagi produk yang masuk ke Inggris harus merupakan produk legal dan berkelanjutan. Artinya, Pemerintah Inggris melarang penggunaan komoditas yang produksinya tidak sesuai dengan peraturan negara asal. “Importir wajib memenuhi persyaratan due diligence. Jika, importir melanggar peraturan, Pemerintah Inggris akan memberikan sanksi denda,” ujarnya.
Dengan adanya peraturan due diligence, lanjut Rizalu, hal ini menjadi hambatan nontarif yang baru. “Untuk itu, Indonesia perlu memiliki standar nasional sendiri untuk produk-produk yang belum memiliki standar, seperti karet dan kakao. Diperlukan kesiapan Indonesia untuk memenuhi ketentuan due diligence terkait legalitas dan keberlanjutan khususnya bagi produk-produk yang belum memiliki standar nasional,” kata Rizalu.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Liana Bratasida, mengungkapkan, Pemerintah telah berupaya meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia melalui program sertifikasi seperti SNI, SVLK, SNI, dan Ekolabel. Menurutnya, sistem perdagangan bergantung pada pasar yang terbuka dimana proses poduksi dilakukan sesuai prosedur dan standar yang konsisten dan memenuhi permintaan konsumen.
Menurut Liana, beberapa negara tujuan ekspor Indonesia sudah memiliki standar sebagai salah satu alat untuk menghambat perdagangan. “Untuk mengubah hambatan menjadi peluang ekspor, diperlukan MRA antara standar-standar yang berlaku di negara-negara tujuan ekspor.
Persyaratan standar SNI juga perlu disesuaikan secara bertahap menyamai persyaratan di luar negeri dengan meningkatkan kemampuan teknologi dan kapasitas SDM. Indonesia juga harus mensosialisasikan SNI kepada konsumen di negara tujuan ekspor,” imbuh Liana.
Vice President Strategic Business Unit, SUCOFINDO, Nurbeta Kurniawan mengatakan, SUCOFINDO siap mendukung proses peningkatkan sertifikasi untuk mendorong ekspor nasional. “Kami akan memastikan efektivitas pengelolaan risiko dan perlindungan merek produk serta membantu perusahaan dalam meningkatkan performa organisasi dan daya saing,” tutur Nurbeta.
Latar Belakang Peningkatan Persyaratan Sertifikasi Natan menjelaskan, penerapan standar yang semakin meningkat ini telah memberikan tekanan terhadap produk ekspor Indonesia melalui persyaratan sertifikasi pada produk ekspor unggulan Indonesia. Sertifikasi tersebut harus dapat menunjukkan bahwa produk tersebut telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.
Pandemi Covid-19, lanjut Natan, juga menjadi salah satu faktor yang membuat adanya perubahan lanskap dari perdagangan internasional, termasuk penerapan standar baru perdagangan yang semakin ketat. “Faktor keamanan dan kesehatan suatu produk menjadi faktor utama yang semakin penting dalam persyaratan standar perdagangan khususnya untuk produk pangan. Peningkatan standardisasi keamanan dan kesehatan ini bukan hanya pada produk, melainkan juga pada pengemasan dan labelnya. Peningkatan persyaratan sertifikasi ini diperkirakan akan terus berlanjut bahkan setelah masa pandemi Covid-19,” jelas Natan.
Natan menyampaikan, faktor lainnya yang menjadi perhatian konsumen internasional antara lain produk yang halal, organik, dan kesejahteraan petani. Faktor kesejahteraan petani misalnya termasuk pada faktor keberlanjutan keber). Khususnya dilihat dari kontribusi suatu produk terhadap kerusakan ekosistem lingkungan, deforestasi, degradasi habitat satwa, serta penangkapan ikan secara ilegal. Jaminan akan mutu dan keamanan tersebut terlihat pada sertifikat yang melekat pada produk tersebut misalnya sertifikasi ISO, HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), kesehatan, halal, organik, fair trade, serta keberlanjutan seperti RSPO (roundtable on sustainable palm oil) untuk minyak kelapa sawit.